***
“Sya, yang ini gimana?” tanya
Emil seraya menyodorkan tangannya tepat di hidung gue.
“Hmm, wangi juga. Ini juga
lumayan nih”, ujarku member pilihan
“Emm….” , mengendus-enduskan
hidung kea rah tangan gue. “Ahh nggak ah enekan yang ini”, celetuk Emil menunjukkan
botol parfum yang telah dipilihnya.
“Oh ya udah, yang itu aja”,
jawabku singkat. Sambil meleihat-lihat sekitar, gue nampak heran dengan apa
yang sedari tadi dilihat Nafa.
“Lo lihat apa sih? Asyik
banget dari tadi clingak-clinguk nggak jelas?” tanyaku penasaran.
“Eh, itu sepertinya gue kenal
orang itu”, jawab Nafa meneunujuk kea rah orang yang dimaksud.
Orang dengan perawakan tinngi,
putih, langsing, dengan mini dress pink yang dikenakan nampak begitu cantik
dilihat tengah asyik ngobrol dengan sosok pria tinggi memakai kaos hitam dengan
celana jeans nampak lebih casual. Namun karena Susana mall yang ramai, jadi
kita tidak begitu jelas melihat wajah mereka. Tapi… tunggu-tunggu. Sepertinya
ada sesuatu yang aneh. Seperti tak asing perawakannya.
Tak berapa lama kemudian,
sesaat mereka menoleh dan berjalan menyusuri area mall meninggalkan tempat
semulanya. Dan ternyata… jenh jeng jeng… Oh MY GOD
“Whaaaatttttttt????” teriak
gue seketika tanapa menyadari orang-orang di sekitar yang menoleh heran karena
kekuatan suara berdesibel gue yang begitu cetar. Dan ternyata teman disebelah
gue sampai terperangah kaget.
“Woiiiii, kaget tau gue. Ada
apa? Kenapa lo teriak-teriak kayak toak masjid aja?” tanya Nafa yang bingung
dengan wajah polosnya.
“Ada apa sih? Budek kupik gue
dengernya”, ujar Emil yang langsung menghampiri gue sampbil celingak-celinguk
ke luar toko.
“Oh … gue nggak salah liat
kan? Atau mata gue lagi rabun kali ya. Tadi itu pemandangan apa coba. Apa-apaan
itu. Ohh kepala gue pusing”, ujar gue panjang lebar.
“Kalian berdua, ayo ikut gue
sekarang”, pintaku sambil menarik kedua lengan temanku.
“Tatatataapi, parfum gue. Itu
arfum gue gimana?” tanya Emil yang menunjuk-nunjuk ke arah parfum yang mau
dibeli tadi.
“Kita mau ke mana Sya?” tanya
Nafa penasaran.
“Udah nggak usah bawel, ikut
aja.” Jawabku tergesa-gesa.
Tak berapa jauh dari lokasi
kami berjalan, Nampak dua orang cewek dan cowok yang tadi asyik ngobrol di
depan kios parfum.
“Nah, itu dia,” sambil nunjuk
kea rah dua sejoli. “Naf, kamu inget cewek yang kamu perhatiin di toko parfum
tadi? Lihatbaik-baik tuh cewek,” pintaku seraya meyakinkan Nafa untuk
mengingat-ingat.
“Siapa sih?” tanya Emil
penasaran.
“Lho eh itu bukannya Kak
Andara ya?” ujar Nafa yang mulai curiga.
“Yups, that right.” Jawabku
sambil menjelentikkan jari tangan sampai terdengar bunyi cetakkkk.
“Oh yaaa???” teriak Emilka
terperangah kaget.
“Sssstttt, pelan-pelan dong”,
bisikku mencubit lengan Emil.
“Eh tapi tunggu deh. Itu cowok
kayak nggak asing”, celetuk Emil lagi.
Dengan nada lemas gue jawab,
“Itu Mas gantengku.”
“WHUUUUATTTTTTTT??????” jawab
mereka kompak dan sontak membuat pengunjung mall yang lewat pada kaget. Dan hampir
saja membuat dua sejoli itu menoleh ke arah kami. Kamipun segera bersembunyi di
balik etalase mall. Gawat kalau ketahuan membuntuti mereka kencan. Eh, kencan?
Big No No. Jangan menyebutnya kencan, mungkin lebih tepatnya cuma jalan berdua,
atau mungkin mereka nggak sengaja ketemu atau mungkin mereka tadi jalan sama
temen-temennya tapi kepisah gara-gara mampir ke toilet dulu atau bla bla bla.
Dan itu semua kemungkinan yang amat sangat konyol bukan? Ah dasar otak gue
gesrek nih gegara ngehang melihat mereka.
***
Keesokan harinya, di pagi yang
cerah. Matahari serasamenyengat kulit padahal ini baru jam setengah tujuh. Dan
seperti biasa, di dalam rumah terdapat aktifitas di pagi hari sebelum mulai
beraktifitas.
“Sya, yang bener donk
makannya, lihat tuh mukamu belepotan selai.” Kata mama yang tengah asyik
memoles-moles roti panggang.
“Woy!!!!!” teriak Mas Adry
memekik telinga gue. “Kenapa loe bengong nggak jelas gitu. Nglamunin cowok ya?”
godanya sambil menyenggol-nyenggol lenganku. Dan itu sangat membuat gue risih
dengan kelakuannya.
“Hehh, iiiyaa. Ehh emm nggak.”
Jawabku gelagapan. Dengan malas ku kunyah roti selaiku dengan cepat dan segelas
susu coklat di depan mataku abis dalam sekejap. Dan ngacir eh.
“Daahhh Mah, Pah.” Melambaikan
tangan kepada mama papah dan mereka hanya bisa melongo melihat kelakuan gue
pagi ini.
“Ayo Mas, ntar gue telat.”
perintahku pada Mas Adry yang masih duduk santai dengan roti di tangannnya.
“Ada apa dengan anak itu?”
tukas papah. Dan mama hanya geleng-geleng kepala.
“Kesambet Pah”. Celetuk Mas
Adry langsung ikut ngacir.
“Daaahhh Mas, ntar nggak usah
jemput. Sasya naik taxi aja.” Menutup pintu mobil dan bergegas masuk kampus.
“Eh eh, tuttunggu!” Teriak Mas
Adry yang langsung keluar mobil dan menghampiriku seketika.
“Loe sehat kan? Baik-baik aja
kan loe?” tanyanya sambil memegang dahi gue.
Langsung gue tepis seketika,
“eeemang kekenapa? Ada yang aneh dengan penampilan gue? Kurang apa gue? Atau
make up gue aneh ya? Yang mana Mas? Duh kaca-kaca, mana nih kaca gue.” Cereocos
gue panjang lebar sambil bingung menggeledah tas nyari kaca dan Mas Adry hanya
melongo geleng-geleng kepala.
“Aneh loe ya, oh ya tuh make
up luntur.” Langsung ngacir dan masuk mobil.
“Mana?” ngaca berkali-kali.
“Iiiiiii, awas loe ya. Gue
kena tipu lagi. Arrrgggghhh.” Geramku sampai anak-anak yang lewat
terheran-heran lihat kelakuan konyol gue.
Pagi ini memang benar-benar
membuat gue stress, semalaman nggak bisa tidur terbayang-bayang muka Mas
Ganteng sama cewek monster itu. What? Monster? Nah lhoh, iya kan? Dia emang
cewek serem yang cerewet, ketus, galak lagi. Nggak salah kan gue nyebutnya
monster. Mereka berduaan ngapai coba kalau bukan kencan. Kenapa mesti sama itu
cewek. Aduh Mas Mas mbok ya ngajak yang lain gitu. Yang gnomon ini kan cewek
juga. Nah lhoh promosi.
Gubraaakkkkkkkkkkkkk!!!!!!!!!!!!!!
Oh God, siapa lagi ini, jalan
kok nggak pake mata. Nggak tahu orang lagi kesel apa? Capek hati ini tauk.
“Kalo jalan itu pake matt …”
Mendonggakkan kepala dan … Speechless. Gue tercengang sampai nggak bisa berkata
apa-apa.
“Kamu nggak apa-apa?”
menjulurkan tangan seraya tersenyum muanis buangeeeettt dah
“Oh … “ Well well well gue
hanya bisa terpatung dengan kejadian ini.
“Hei, hello”. Melambaikan
tangan di depan muka shock gue.
“Oh, “ seketika gue tersadar.
“Oh nggak apa-apa. Sorry sorry Kak nggak sengaja.” Ujarku gugup setengah mati.
“Harusnya gue yang minta maaf,
gue nglamun tadi.” Jawabnya.
Gue nggak mimpi kan bisa
ngobrol seperti ini sama doi, Mas Gantengku. Tapi harusnya bukan dalam kondisi
seperti ini.
“Gue Roy.” Ujarnya
memeperkenalkan diri.
“Ohh, Syasa.” Jawabku
menyambut tangnaya.
“Gue jalan dulu ya.” Sambil
berlalu meninggalkan gue sendirian.
Tanpa berkata-kata dan gue
hanya menggangguk pasrah melihat kepergiannya.
“Roy? Oh God, nama yang keren,
sekeren orangnya.” Ujarku sambil berjalan menuju kelas.
“Hey Sya, kemana aja loe? Jam
segini baru nongol. Gue ada kabar bagus nih.” Celetuk Emil yang langsung
nyerocos ngliat gue datang.
“Gue juga punya kabar bagus.
Gue tadi ketemu sama Roy.” Ujarku sambil meletakkan tas di meja gue.
“Roy? Siape entu holang?”
tukas Nafa dengan logat anehnya.
“Ngomong ape sih lu, Nap?”
canda Emil.
“Roy itu Mas Gantengku.
Namanya Roy. Cakep kan namanya. Pas sama orangnya.
“Kok bisa?” tanya Emil
penasaran.
“Bisa dong, gue barusan nggak
sengaja nabrak dia di koridor depan.” Jawabku dengan bagga.
“Ah yang bener loe, Sya?”
tukas Nafa setengah nggak percaya.
“Wih, hebat loe, bisa langsung
tahu namanya juga.”
“Selamat pagi anak-anak.”
Suara Dosen Manajemen memotong pembicaraan kami bertiga dan memaksa kami untuk
kembali ke meja kami masing-masing.
“Hari ini, Bapak membawa kabar
baik utnuk kalian. Bapak membawa teman baru untuk kalian.” Kata Pak Mardi
“Anak
baru? Halah, ini kabar baiknya? Ini mah udah biasa Pak.” Gumamku dalam hati. Tanpa
memperdulikan perkataan Pak Mardi, gue asyik sendiri utak-atik pena.
“Sini kamu, silahkan masuk dan
perkenalkan diri.” Kata Pak Mardi menambahakan.
“Hai, gue Aditya Pratama.
Panggil gue Adit aja. Terima Kasih.” Ucapnya singkat.
Wahhh
ganteng banget. Kayak boyband ya. Dia mungkin pernah jadi coverboy kali.
Orang-orang mulai
berbisik-bisik membicarakan ini anak baru taai gue tetpa cuek dengan ha itu.
“Sttt, sttt.” Bisik Emil
menggodaku.
“Ada apa?” tanyaku bingung.
“Liat tu, cowok ganteng.”
Jawabnya.
“Alahh, biarin.” Jawabku cuek,
tanpa sengaja aku menengok ke depan dan … tanpa sadar gue melongo dibuatnya.
Dan seketika gue sadar.
“Nggak-nggak,
masih cakepan Roy. Sadar-sadar Sasya.” Gumamku dalam hati sambil menepuk-nepuk pipi.
“Nah, Dit silahkan duduk. Cari
tempat duduk yan kosong.” Ujar Pak Mardi lagi.
“Baik Pak, terima kasih.”
Jawab cowok itu.
Berjalan melewati kursiku.
Tiba-tiba …
“Kasian tuh pipi
ditepuk-tepuk.” Ujarnya berbisik di dekat gue.
Seketika gue sadar. Apa dia tadi bicara sama gue? Gue nggak
budek kok. Gue masih bisa dengar dia ngomong gitu sama gue. Iya sama gue.
Langsung membalikkan badan,
“Sial, huhh.” Gerutuku padanya. Dan dia hanya nyengir ngliat kelakuan gue.
Apa-apaan
itu, anak baru udah sok kayak gitu. Belagu lagi. Mesti di kasih pelajaran dia
nanti.
“Baik anak-anak. Tugas ini
dikumpulkan pada ertemuan berikutnya. Selamat siang.” Ujar Pak Mardi sambil
berlalu meningglkan ruangan.
“Oke pak.” Jawab anak-anak
seraya meninggalkankelas satu persatu dan tinggallha kami berempat. Berempat?
Iya siapa lagi kalo bukan Gue sama 2 temen gue dan anak baru rese itu.
“Yuk Sya.” Ujar Nafa menarik
tanganku agar segera keluar ruanagan.
“Tunggu, gue ada urusan sama
orang itu.” Tunjuk si anak baru yang sedang asyik mamainkan handphonenya dari
tadi.
Sambil menghampiri anak itu,
tanpa tinggal diam gue teriak kayak orang gila kesurupan.
“Eh lo tu anak baru nggak usah
belagu ya jadi orrr…” suara gue tercengang ketika dia tiba-tiba beranjak dari
kursi yang didudukinya dan berlalu tanpa sepatah katapun meninggalkan gue yang
cengo dibuatnya.
“Oke gue ke sana sekarang.”
Ujarnya dari jauh sambil menutup telepon yang dipegangnya sedari tadi.
Emil dan Nafa
terbengong-bengong menyaksikan penghinaan ini.
“Oh My God, gue nggak salah
lihat kan Naf?” ujar Emil dengan mata melongo.
Nafa hanya geleng-geleng
kepala.
“Sasyaaaaaa, loe di cuekin.
Hahahaha.” Teriak Emil sambil tertawa
puas melihatku yang masih bengong dipojokan bangku tuh cowok.
“Gugugue di cuekin?” dengan
nada gugup gue nggak percaya gue dibuat kayak gini sama itu cowok.
“Oh God, sumpah demi apa gue
dicuekin sam cowok baru itu?” teriak gue sambil kipas-kipas tangan. Hati gue
serasa terbakar dengan kelakuan tuh anak.
“Awas aja besok, gue akan buat
perhitungan sama itu cowok.” Ujarku geram sambil mengepalkan tangan .
“Ttttaaapi Sya, loe yakin?
Kalo dia kayak gini lagi gimana? Tengsin kan.” Ujar Nafa memperingatkan.
Gue nggak peduli apa yag akan
terjadi besok, yang jelas gue akan buat perhitungan sama itu bocah. Titik!
***
“Taxi!” menyetop taxi dan
bergegas masuk.
“Eh ehhh, pekikku kaget.
“Jalan Pemuda Pak.” Ujar
seorang cowok yang langsung menerobos taxi gue.
“Apa-apaan loe, ini taxi gue.
Minggir!” teriakku pada itu cowok.
“Gue yang duluan ngomong,”
menengokkan kepala dan nyengir dihadapanku.
“Oooooo elo?” teriakku kaget.
Dia lagi dia lagi. Dunia ini begitu sempit apa sampai-sampai gue mesti ketemu
cowok songong ini berkali-kali. Iya, siapa lagi kalo bukan si cowok resek yang
bikin gue cengo dibuatnya.
“Ehh apa-apaan loe, gue duluan
yang nyetop ini taxi. Turun loe!’ perintahku sambil menarik tangannya.
Tanpa sadar, dia menarik
tangan gue dan tubuh gue terpanting duduk di dalam taxi bersama cowok songong.
Dan dia segera menutup pintutaxi sambil menepuk punggung sopir taxi.
“Jalan pak,” ujarnya.
Gue yang bingung teriak-teriak
di dalam taxi, “woiiiii, loe mau nyulik gue? Turunin gue.” Sambil menepuk-nepuk
pundak tuh cowok.
Dia pun tak bergeming
sekalipun gue teriak-teriak, nendang-nendang, dan memukul-mukul tubuhnya.
“Ini cowok sadar nggak sih?
Atau mungkin ini orang zombie kali ya, nggak bersuara sedikit pun sedari tadi.”
Gumamku dalam hati.
Sepuluh menit berlalu, taxi
berhenti di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas dan berpagar tinggi.
Gue hanya bingung dibuatnya yang sedari tadi diam tanpa mengeluarkan sepatah
kata pun.
“Sudah sampai Mas.” Ujara
sopir taxi itu.
Dengan segera dia mengeluarkan
ongkos taxinya, membuka pintu taxi dan berlalu begitu saja. Namun beberapa
detik kemudian, dia berhenti berjalan dan menoleh kearah gue.
“Take care.” Ujarnya dan
kembali berlalu.
Gue hanya melongo dibuatnya.
Tanpa sepatah katapun keluar dari mulut gue. Sampai suara sopir taxi memecah
lamunanku.
“Kita jalan sekarang Mbak?”
tanya pak sopir.
“Ooooh iya pak,” jawabku
dengan nada bingung dan kembali menatap rumah besar si cowok rese itu.
“Seperti nggak asing sama
rumah itu.” Gumamku. “Ahh entahlah,” ujarku dengan cuek.