Senin, 16 Februari 2015

Draft (part II)



***
“Sya, yang ini gimana?” tanya Emil seraya menyodorkan tangannya tepat di hidung gue.
“Hmm, wangi juga. Ini juga lumayan nih”, ujarku member pilihan
“Emm….” , mengendus-enduskan hidung kea rah tangan gue. “Ahh nggak ah enekan yang ini”, celetuk Emil menunjukkan botol parfum yang telah dipilihnya.
“Oh ya udah, yang itu aja”, jawabku singkat. Sambil meleihat-lihat sekitar, gue nampak heran dengan apa yang sedari tadi dilihat Nafa.
“Lo lihat apa sih? Asyik banget dari tadi clingak-clinguk nggak jelas?” tanyaku penasaran.
“Eh, itu sepertinya gue kenal orang itu”, jawab Nafa meneunujuk kea rah orang yang dimaksud.
Orang dengan perawakan tinngi, putih, langsing, dengan mini dress pink yang dikenakan nampak begitu cantik dilihat tengah asyik ngobrol dengan sosok pria tinggi memakai kaos hitam dengan celana jeans nampak lebih casual. Namun karena Susana mall yang ramai, jadi kita tidak begitu jelas melihat wajah mereka. Tapi… tunggu-tunggu. Sepertinya ada sesuatu yang aneh. Seperti tak asing perawakannya.
Tak berapa lama kemudian, sesaat mereka menoleh dan berjalan menyusuri area mall meninggalkan tempat semulanya. Dan ternyata… jenh jeng jeng… Oh MY GOD
“Whaaaatttttttt????” teriak gue seketika tanapa menyadari orang-orang di sekitar yang menoleh heran karena kekuatan suara berdesibel gue yang begitu cetar. Dan ternyata teman disebelah gue sampai terperangah kaget.
“Woiiiii, kaget tau gue. Ada apa? Kenapa lo teriak-teriak kayak toak masjid aja?” tanya Nafa yang bingung dengan wajah polosnya.
“Ada apa sih? Budek kupik gue dengernya”, ujar Emil yang langsung menghampiri gue sampbil celingak-celinguk ke luar toko.
“Oh … gue nggak salah liat kan? Atau mata gue lagi rabun kali ya. Tadi itu pemandangan apa coba. Apa-apaan itu. Ohh kepala gue pusing”, ujar gue panjang lebar.
“Kalian berdua, ayo ikut gue sekarang”, pintaku sambil menarik kedua lengan temanku.
“Tatatataapi, parfum gue. Itu arfum gue gimana?” tanya Emil yang menunjuk-nunjuk ke arah parfum yang mau dibeli tadi.
“Kita mau ke mana Sya?” tanya Nafa penasaran.
“Udah nggak usah bawel, ikut aja.” Jawabku tergesa-gesa.
Tak berapa jauh dari lokasi kami berjalan, Nampak dua orang cewek dan cowok yang tadi asyik ngobrol di depan kios parfum.
“Nah, itu dia,” sambil nunjuk kea rah dua sejoli. “Naf, kamu inget cewek yang kamu perhatiin di toko parfum tadi? Lihatbaik-baik tuh cewek,” pintaku seraya meyakinkan Nafa untuk mengingat-ingat.
“Siapa sih?” tanya Emil penasaran.
“Lho eh itu bukannya Kak Andara ya?” ujar Nafa yang mulai curiga.
“Yups, that right.” Jawabku sambil menjelentikkan jari tangan sampai terdengar bunyi cetakkkk.
“Oh yaaa???” teriak Emilka terperangah kaget.
“Sssstttt, pelan-pelan dong”, bisikku mencubit lengan Emil.
“Eh tapi tunggu deh. Itu cowok kayak nggak asing”, celetuk Emil lagi.
Dengan nada lemas gue jawab, “Itu Mas gantengku.”
“WHUUUUATTTTTTTT??????” jawab mereka kompak dan sontak membuat pengunjung mall yang lewat pada kaget. Dan hampir saja membuat dua sejoli itu menoleh ke arah kami. Kamipun segera bersembunyi di balik etalase mall. Gawat kalau ketahuan membuntuti mereka kencan. Eh, kencan? Big No No. Jangan menyebutnya kencan, mungkin lebih tepatnya cuma jalan berdua, atau mungkin mereka nggak sengaja ketemu atau mungkin mereka tadi jalan sama temen-temennya tapi kepisah gara-gara mampir ke toilet dulu atau bla bla bla. Dan itu semua kemungkinan yang amat sangat konyol bukan? Ah dasar otak gue gesrek nih gegara ngehang melihat mereka.
***
Keesokan harinya, di pagi yang cerah. Matahari serasamenyengat kulit padahal ini baru jam setengah tujuh. Dan seperti biasa, di dalam rumah terdapat aktifitas di pagi hari sebelum mulai beraktifitas.
“Sya, yang bener donk makannya, lihat tuh mukamu belepotan selai.” Kata mama yang tengah asyik memoles-moles roti panggang.
“Woy!!!!!” teriak Mas Adry memekik telinga gue. “Kenapa loe bengong nggak jelas gitu. Nglamunin cowok ya?” godanya sambil menyenggol-nyenggol lenganku. Dan itu sangat membuat gue risih dengan kelakuannya.
“Hehh, iiiyaa. Ehh emm nggak.” Jawabku gelagapan. Dengan malas ku kunyah roti selaiku dengan cepat dan segelas susu coklat di depan mataku abis dalam sekejap. Dan ngacir eh.
“Daahhh Mah, Pah.” Melambaikan tangan kepada mama papah dan mereka hanya bisa melongo melihat kelakuan gue pagi ini.
“Ayo Mas, ntar gue telat.” perintahku pada Mas Adry yang masih duduk santai dengan roti di tangannnya.
“Ada apa dengan anak itu?” tukas papah. Dan mama hanya geleng-geleng kepala.
“Kesambet Pah”. Celetuk Mas Adry langsung ikut ngacir.

“Daaahhh Mas, ntar nggak usah jemput. Sasya naik taxi aja.” Menutup pintu mobil dan bergegas masuk kampus.
“Eh eh, tuttunggu!” Teriak Mas Adry yang langsung keluar mobil dan menghampiriku seketika.
“Loe sehat kan? Baik-baik aja kan loe?” tanyanya sambil memegang dahi gue.
Langsung gue tepis seketika, “eeemang kekenapa? Ada yang aneh dengan penampilan gue? Kurang apa gue? Atau make up gue aneh ya? Yang mana Mas? Duh kaca-kaca, mana nih kaca gue.” Cereocos gue panjang lebar sambil bingung menggeledah tas nyari kaca dan Mas Adry hanya melongo geleng-geleng kepala.
“Aneh loe ya, oh ya tuh make up luntur.” Langsung ngacir dan masuk mobil.
“Mana?” ngaca berkali-kali.
“Iiiiiii, awas loe ya. Gue kena tipu lagi. Arrrgggghhh.” Geramku sampai anak-anak yang lewat terheran-heran lihat kelakuan konyol gue.

Pagi ini memang benar-benar membuat gue stress, semalaman nggak bisa tidur terbayang-bayang muka Mas Ganteng sama cewek monster itu. What? Monster? Nah lhoh, iya kan? Dia emang cewek serem yang cerewet, ketus, galak lagi. Nggak salah kan gue nyebutnya monster. Mereka berduaan ngapai coba kalau bukan kencan. Kenapa mesti sama itu cewek. Aduh Mas Mas mbok ya ngajak yang lain gitu. Yang gnomon ini kan cewek juga. Nah lhoh promosi.
Gubraaakkkkkkkkkkkkk!!!!!!!!!!!!!!
Oh God, siapa lagi ini, jalan kok nggak pake mata. Nggak tahu orang lagi kesel apa? Capek hati ini tauk.
“Kalo jalan itu pake matt …” Mendonggakkan kepala dan … Speechless. Gue tercengang sampai nggak bisa berkata apa-apa.
“Kamu nggak apa-apa?” menjulurkan tangan seraya tersenyum muanis buangeeeettt dah
“Oh … “ Well well well gue hanya bisa terpatung dengan kejadian ini.
“Hei, hello”. Melambaikan tangan di depan muka shock gue.
“Oh, “ seketika gue tersadar. “Oh nggak apa-apa. Sorry sorry Kak nggak sengaja.” Ujarku gugup setengah mati.
“Harusnya gue yang minta maaf, gue nglamun tadi.” Jawabnya.
Gue nggak mimpi kan bisa ngobrol seperti ini sama doi, Mas Gantengku. Tapi harusnya bukan dalam kondisi seperti ini.
“Gue Roy.” Ujarnya memeperkenalkan diri.
“Ohh, Syasa.” Jawabku menyambut tangnaya.
“Gue jalan dulu ya.” Sambil berlalu meninggalkan gue sendirian.
Tanpa berkata-kata dan gue hanya menggangguk pasrah melihat kepergiannya.
“Roy? Oh God, nama yang keren, sekeren orangnya.” Ujarku sambil berjalan menuju kelas.

“Hey Sya, kemana aja loe? Jam segini baru nongol. Gue ada kabar bagus nih.” Celetuk Emil yang langsung nyerocos ngliat gue datang.
“Gue juga punya kabar bagus. Gue tadi ketemu sama Roy.” Ujarku sambil meletakkan tas di meja gue.
“Roy? Siape entu holang?” tukas Nafa dengan logat anehnya.
“Ngomong ape sih lu, Nap?” canda Emil.
“Roy itu Mas Gantengku. Namanya Roy. Cakep kan namanya. Pas sama orangnya.
“Kok bisa?” tanya Emil penasaran.
“Bisa dong, gue barusan nggak sengaja nabrak dia di koridor depan.” Jawabku dengan bagga.
“Ah yang bener loe, Sya?” tukas Nafa setengah nggak percaya.
“Wih, hebat loe, bisa langsung tahu namanya juga.”
“Selamat pagi anak-anak.” Suara Dosen Manajemen memotong pembicaraan kami bertiga dan memaksa kami untuk kembali ke meja kami masing-masing.
“Hari ini, Bapak membawa kabar baik utnuk kalian. Bapak membawa teman baru untuk kalian.” Kata Pak Mardi
“Anak baru? Halah, ini kabar baiknya? Ini mah udah biasa Pak.” Gumamku dalam hati. Tanpa memperdulikan perkataan Pak Mardi, gue asyik sendiri utak-atik pena.
“Sini kamu, silahkan masuk dan perkenalkan diri.” Kata Pak Mardi menambahakan.
“Hai, gue Aditya Pratama. Panggil gue Adit aja. Terima Kasih.” Ucapnya singkat.
Wahhh ganteng banget. Kayak boyband ya. Dia mungkin pernah jadi coverboy kali.
Orang-orang mulai berbisik-bisik membicarakan ini anak baru taai gue tetpa cuek dengan ha itu.
“Sttt, sttt.” Bisik Emil menggodaku.
“Ada apa?” tanyaku bingung.
“Liat tu, cowok ganteng.” Jawabnya.
“Alahh, biarin.” Jawabku cuek, tanpa sengaja aku menengok ke depan dan … tanpa sadar gue melongo dibuatnya. Dan seketika gue sadar.
“Nggak-nggak, masih cakepan Roy. Sadar-sadar Sasya.” Gumamku dalam hati sambil menepuk-nepuk pipi.
“Nah, Dit silahkan duduk. Cari tempat duduk yan kosong.” Ujar Pak Mardi lagi.
“Baik Pak, terima kasih.” Jawab cowok itu.
Berjalan melewati kursiku. Tiba-tiba …
“Kasian tuh pipi ditepuk-tepuk.” Ujarnya berbisik di dekat gue.
Seketika gue sadar. Apa dia tadi bicara sama gue? Gue nggak budek kok. Gue masih bisa dengar dia ngomong gitu sama gue. Iya sama gue.
Langsung membalikkan badan, “Sial, huhh.” Gerutuku padanya. Dan dia hanya nyengir ngliat kelakuan gue.
Apa-apaan itu, anak baru udah sok kayak gitu. Belagu lagi. Mesti di kasih pelajaran dia nanti.

“Baik anak-anak. Tugas ini dikumpulkan pada ertemuan berikutnya. Selamat siang.” Ujar Pak Mardi sambil berlalu meningglkan ruangan.
“Oke pak.” Jawab anak-anak seraya meninggalkankelas satu persatu dan tinggallha kami berempat. Berempat? Iya siapa lagi kalo bukan Gue sama 2 temen gue dan anak baru rese itu.
“Yuk Sya.” Ujar Nafa menarik tanganku agar segera keluar ruanagan.
“Tunggu, gue ada urusan sama orang itu.” Tunjuk si anak baru yang sedang asyik mamainkan handphonenya dari tadi.
Sambil menghampiri anak itu, tanpa tinggal diam gue teriak kayak orang gila kesurupan.
“Eh lo tu anak baru nggak usah belagu ya jadi orrr…” suara gue tercengang ketika dia tiba-tiba beranjak dari kursi yang didudukinya dan berlalu tanpa sepatah katapun meninggalkan gue yang cengo dibuatnya.
“Oke gue ke sana sekarang.” Ujarnya dari jauh sambil menutup telepon yang dipegangnya sedari tadi.
Emil dan Nafa terbengong-bengong menyaksikan penghinaan ini.
“Oh My God, gue nggak salah lihat kan Naf?” ujar Emil dengan mata melongo.
Nafa hanya geleng-geleng kepala.
“Sasyaaaaaa, loe di cuekin. Hahahaha.”  Teriak Emil sambil tertawa puas melihatku yang masih bengong dipojokan bangku tuh cowok.
“Gugugue di cuekin?” dengan nada gugup gue nggak percaya gue dibuat kayak gini sama itu cowok.
“Oh God, sumpah demi apa gue dicuekin sam cowok baru itu?” teriak gue sambil kipas-kipas tangan. Hati gue serasa terbakar dengan kelakuan tuh anak.
“Awas aja besok, gue akan buat perhitungan sama itu cowok.” Ujarku geram sambil mengepalkan tangan .
“Ttttaaapi Sya, loe yakin? Kalo dia kayak gini lagi gimana? Tengsin kan.” Ujar Nafa memperingatkan.
Gue nggak peduli apa yag akan terjadi besok, yang jelas gue akan buat perhitungan sama itu bocah. Titik!

***

“Taxi!” menyetop taxi dan bergegas masuk.
“Eh ehhh, pekikku kaget.
“Jalan Pemuda Pak.” Ujar seorang cowok yang langsung menerobos taxi gue.
“Apa-apaan loe, ini taxi gue. Minggir!” teriakku pada itu cowok.
“Gue yang duluan ngomong,” menengokkan kepala dan nyengir dihadapanku.
“Oooooo elo?” teriakku kaget. Dia lagi dia lagi. Dunia ini begitu sempit apa sampai-sampai gue mesti ketemu cowok songong ini berkali-kali. Iya, siapa lagi kalo bukan si cowok resek yang bikin gue cengo dibuatnya.
“Ehh apa-apaan loe, gue duluan yang nyetop ini taxi. Turun loe!’ perintahku sambil menarik tangannya.
Tanpa sadar, dia menarik tangan gue dan tubuh gue terpanting duduk di dalam taxi bersama cowok songong. Dan dia segera menutup pintutaxi sambil menepuk punggung sopir taxi.
“Jalan pak,” ujarnya.
Gue yang bingung teriak-teriak di dalam taxi, “woiiiii, loe mau nyulik gue? Turunin gue.” Sambil menepuk-nepuk pundak tuh cowok.
Dia pun tak bergeming sekalipun gue teriak-teriak, nendang-nendang, dan memukul-mukul tubuhnya.
“Ini cowok sadar nggak sih? Atau mungkin ini orang zombie kali ya, nggak bersuara sedikit pun sedari tadi.” Gumamku dalam hati.
Sepuluh menit berlalu, taxi berhenti di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas dan berpagar tinggi. Gue hanya bingung dibuatnya yang sedari tadi diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
“Sudah sampai Mas.” Ujara sopir taxi itu.
Dengan segera dia mengeluarkan ongkos taxinya, membuka pintu taxi dan berlalu begitu saja. Namun beberapa detik kemudian, dia berhenti berjalan dan menoleh kearah gue.
“Take care.” Ujarnya dan kembali berlalu.
Gue hanya melongo dibuatnya. Tanpa sepatah katapun keluar dari mulut gue. Sampai suara sopir taxi memecah lamunanku.
“Kita jalan sekarang Mbak?” tanya pak sopir.
“Ooooh iya pak,” jawabku dengan nada bingung dan kembali menatap rumah besar si cowok rese itu.
“Seperti nggak asing sama rumah itu.” Gumamku. “Ahh entahlah,” ujarku dengan cuek.

Belum ada judul (part I)



Pernah nggak sih loe ngebayangin orang yang selama ini loe puja-puja jadi balik muja elo??? Nah, seperti halnya yang lagi gue alami sekarang. Kenalin dulu, nama gue Shasya. Emmm, tapi temen-temen gue biasa manggil gue Shasem. Nggak abis piker deh gue kenapa bias dipanggil kayak gitu. Katanya sih kepanjangan dari Shasya Asem. Emang kebangetan tuh anak-anak. Dan…..
“Syaaaaa??????” teriak pekikan suara dari ruang bawah. Dan ternyata benar, itu my mom. Yupz. Dan sekarang waktunya gue buat ,,, emmm apalagi kalo nggak kuliah. Yah gini-gini gue juga kuliah di jurusan Manajemen di salah satu perguruan tinggi swasta di Solo.
“Iya mah. Bentar, Shasya lagi dandan dulu.” Jawabku dengan sedikit memoles kelopak mataku dengan sedikit eyeshadow yang membuatku tampak sedikit kikuk karena buru-bur. Biasalah, mamah kalo udah teriak-teriak gitu bawaannya pasti sewot. Dan gue nggak mau kena dampak kesewotannya itu. No Way!
“Lama banget kamu dandannya. Mau ngelenong kemana sih kamu. Mama buru-buru ini mau ada meeting dengan klien penting. Ini juga pertama kalinya kamu masuk kuliah kan? Kok nggak siap-siap lebih awal malah ngaret.” Tukasnya dengan sedikit panic karena jam sudah menunjukkan angka 08.10.
“What????!!!! Jam berapa ini?” Melirik jam tangan yang melingkar  ditanganku. “Oh my God mom. Udah jam 8 lebih ini. Telat! Telat! Telat!” Teriakku.
Segera kami bergegas ke mobil dan hebatnya mamaku, tanpa memberi aba-aba langsung tancap gas.
Tak berapa lama kami sampai tepat di depan kampus gue yang yah sedikit riuh karena banyak mahasiswa baru disini. Biasa lah, di seberang jalan pun terlihat anak baru yang sedang cipika-cipiki dengan bokapnya. Tak jauh dari posisiku berdiri juga ada anak yang tengah terburu-buru berlari menuju ke kampus. Dan...
“Dorrrr. Kok malah berdiri di sini. Sana masuk. Ngapain melongo nggak jelas gitu.” Tepukan tangan mama gue membuyarkan penglihatanku.
“Eh iya mah.” Nyengir dan tanpa basa-basi gue pun segera masuk ke kampus. “Dahhh mah.” Melambaikan tangan dan tak berapa lama ku lihat mobil mama sudah tak nampak lagi. “Gue rasa mama tancap gas pol deh. “ pikirku dalam hati.
Suasana ospek yang begitu rame membuatku agak jengkel. Ini anak-anak pada ngapain sih kok nggak tau malu banget. Udah gede kok pada teriak-teriak kayak anak TK yang di kasih permen. Gue emang nggak begitu merhatiin apa yang mereka lakukan tapi di tengah suasana yang nggak kondusif ini, tiba-tiba mataku melihat sesosok makhluk Tuhan yang bias dibilang SEMPURNA. Tinggi, putih, manis, ikal dan…
“Woy.. anak baru ngapain kamu bengong kayak kambing congek gitu?” teriak salah seorang senior di depanku.” Ini senior galak amat yak?” Pikirku. Dan parahnya gue di buat malu abis sama ini senior belagu. Tampangnya sih lumayan tapi lagaknya sok banget sih.
“Sini ikut gue. Maju ke depan dan ngadep anak-anak yang lain.” Perintahnya sambil menunjuk-nunjuk kea rah gue. Malukan gue jadinya. Sial banget, lagi ngliatin anak cakep kok diganggu. Huhh
Dengan sedikit malas aku maju ke depan dengan ribuan atau bahkan jutaan mata memandang. Waduh banyak amat. Jatuh deh reputasi gue sebagai mahasiswa baru. Gue nggak mau cari masalah Bung.
“Cepet sini. Lama ya lo. Kayak puteri keraton aja.” Tukas seorang senior wanita yang namanya Andara. Gue tau dari name tag yang tergantung di lehernya.
“Tau nggak loe kenapa gue bawa lo ke depan sini?” dengan nada setengah tingi dan setengah marah.
(geleng-geleng kepala). Gue sadar kalo gue jawab pasti jadi masalah lagi. So, diem lebih baik dan nundukpun tambah lebih baik.
“Eh lo gue nanya tuh dijawab. Bukan malah ngangguk-ngangguk doang.” Teriaknya lagi.
“Udahlah Ra nggak usah pake emosi gitu kenapa.” Tukas salah satu senior cowok di sampingnya. “nggak bisa gitu Ren, dia belagu sih. Dari tadi kita ngomong panjang lebar sosialisasi tentang kampus ini. Eh, dia enak-enakan bengong. Dia harus dikasih pelajaran.”  Jawabnya dengan sedikit emosi.
“Udah-udah gini aja. Biar lebih cepet urusannya. Sekarang lo hadap ke depan mahasiswa baru dan lo nyanyi sebuah lagu  untuk kita-kita karena lo udah nggak menghormati kita sebagai senior lo.” Perintah kak Gisel. Salah satu senior juga. Cantik tapi mungkin agak sedikit bawel.
Eh tunggu dulu. Apa tadi dia bilang? Nyanyi? Gue nggak salah dengerkan? Ini kuping emang mesti diperiksa nih. Masa gue di suruh nyanyi. Yang bener aja. Big No No. Gue paling nggak PD kalo disuruh nyanyi di depan orang banyak gini. Malu atuh neng.
“Eh ngapain lo masih berdiri di situ? Sini!” Perintah Kak Gisel sambil melambaikan tangan ke arahku.
“Tapi Kak. Gue nggak bisa nyanyi.” Ujarku dengan setengah gugup.
“Udah ayo cepet biar hukuman lo cepet kelar.” Tukasnya
Sambil menarik napas pelan dan sedikit melirik ke kanan dan kiri. Tau-tau ntar diliat kakak yang cakep itu lagi. Bisa malu berat gue.
“Ehm… Cek cek cek 1 2 3.” Ujarku untuk mengurangi rasa gugup gue.
“Eh kita nyuruh lo buat nyanyi bukan buat berhitung di situ?” teriak salah seorang senior gendut yang berdiri dipojokan dengan nada tinggi. Serentak semua anak tertawa puas dihadapanku. Sumpah gue pengen nangis di situ. Dan gue pikir gue harus segera mengakhiri ini semua. Lihat aja…
Tak banyak cara Tuhan menghadirkan cinta
Dan dirimu adalah salah satunya
Namun engkau datang di saat yang tidak tepat
Cintaku tlah dimiliki
Inilah akhirnya harus ku akhiri
Sebelum cintamu semakin dalam
Maafkan diriku memilih setia
Walaupun ku tahu cintamu lebih besardarinya
Seribu kali logika ku untuk menolak
Tapi ku tak bisa bohongi hati kecilku
Bila saja diriku ini masih sendiri
Pastiku kan memilih kan memilihmu…
Sontak semua anak membeikan applause pada ague. Dan kulihat raut wajah Andara yang kesal karena gagal ngerjain gue. Hahaha
Gue nggak nyangka ternyata suara gue oke juga.
***
Akhirnya ospek perdana gue kelar juga. Huhf. Tak berapa lama menunggu, terlihat mobil jazz merah menuju ke arahku.
“Hey sayang. Udah kelar kan?” Tanya mamaku sambil cipika cipiki manja. Dan gue hanya manggut-manggut saja. Dan tampaknya mamaku tau kalo anak kesayangannya ini tengah capek. Yupz seharian ini waktu dihabiskan hanya untuk kegiatan ospek doang. Baru kakiku melangkah ke pintu mobil. Terdengar suara memanggil nama gue.
“Sya tunggu. Gue nebeng lo ya?” Tanya salah seorang gadis manis didepan gue. Yupz, ini Nafa Aura. Temen seangkatan gue. Kita kenal baru tadi pagi sewaktu ketemu di ospek. Dia selalu ngintilin gue kemanapun gue pergi. Mungkin dia di sini belum punya temen. Ya nggak apa-apa sih. Gue juga lagi butuh temen di sini. Karena temen-temen SMA gue nggak ada yang satu kampus sama gue.
“Oh iya mah. Ini Nafa. Temen Shasya.” Ujarku memperkenalkan.
“Hello tante. Saya Nafa temennya Shasya. Saya boleh ikut nebeng nggak tan?” tanyanya lugu.
“Oh tentu. Tapi kita mampir makan dulu nggak apa-apa kan?” ucap mama ramah. Yah, mama gue memang ramah.
***
Ternyata rumah Nafa tak jauh dari rumah gue. Jadi besok-besok bisa berangkat bareng dia lagi. Pikirku dalam hati.
“Mah, Shasya langsung ke kamar aja ya. Shasya capek banget nih.” Sambil berjalan lunglai menuju tangga.
“Iya mama tau. Langsung istirahat saja lho. Jangan main laptop terus.” Ujar mama.
Baru mau menaiki tangga pertama, ku dengar suara kaki melangkah tapi tak ku hiraukan karena badan sudah tersa tertimpa batu alias pengen bobok.
“Surprise!!!!!!!!” Sontak gue terjerembab kaget setengah mati begitu mendengar suara pekikan papah dan Mas Adri pulang. Yippi. Mata yang tadinya nagntuk berubah benter.
“Papah! Mas Adri! Pulang kok nggak ngasih kabar? Jahat ihh.” Tanyaku bertubi-tubi.
“Tadi katanya capek? Mau tidur? Kok udah benter aja tuh mata?” Tanya mamahku yang sontak membuatku pengen nyengir. Papah hanya geleng-geleng kepala melihat kekonyolanku sama mama.
“Mana oleh-olehnya Mas?” tanyaku kemudian sambil menengadahkan tangan.
“Hmm, buat adik gue tercinta nih ada oleh-oleh special.”. Ku lihat Mas Adry membuka kopernya dan…
“Taraa… Hadiah kecil dari Mas Adry untuk Shasya.” Menunujukkan foto Mas Adry dengan personel Super  Junior  di handphonenya kepadaku.
“Apaan nih. Gue kan mintanya kaos  yang ada tanda tangannya Suju. Kok malah ginian sih. Bete ahh kalo gini caranya.” Ujarku sambil sedikit manyun-manyun lucu.
Mas Adry hanya tertawa kecil melihat manyunanku yang mungkin jelek.
“Taraaa…..” Mas Adry menunjukkan kaos yang gue maksud tadi. “Nih, gitu aja ngambek. Dasar pesek!”
Ujar Mas Adry yang puas memencet hidung mungilku.
Segera gue tepis dan segera gue rampas kaos  di tangannya. “Yeee, oppa gamsahabnida.” Membungkukkan badan dan langsung memeluk Mas Adry.
“Eh ini nggak gratis lho. Bayar! Ini nggak nggak gampang dapet tanda tangannya. 10 Won. Come on.” Menengadahkan tangan di depan mukaku.
“Mahhhhhh, Mas Adry nih.” Rengekku pada mamah. Semua tertawa puas mengerjaiku.
***
Hari-hari gue lalui setelah masa ospek kelar. Tak terasa sudah satu semester gue habiskan di kampus ini. Dan tak butuh waktu lama buat adaptasi dan dapet temen-temen yang bisa di bilang sahabat baru gue. Selain Nafa, temen masa ospek gue. Ada juga Emilka. Hari-hari selalu aja bareng mereka, sampai-sampai anak-anak yang lain menjuluki kita sebagai trionya anak manajemen. Karena dimana ada gue pasti juga ada mereka.
“Syem, ntar anterin gue beli parfum ya? Parfum gue abis nih. Yah yah yah?” teriak si Emil yang suaranya begitu cempreng ditelinga. Eh apa tadi dia bilang? Syem??? Jangan keras-keras donk kalo manggilnya kayak gitu. Syem itu kependekan dari Shasyem. Shasya Asem. Yupz. Sekarang anak-anak prefer manggil gue Shasyem daripada Shasya. Alasannya karena gue pernah tuh nggak mandi sekali dan ketahuan Nafa. Nah dari situ dia manggil gue Shasyem. Jahat bingit kan? Lho kok malah jadi anak alay gini. Hadeh
“Iya ntar abis kuliah ya. Nafa ikut juga?” tanyaku pada sosok gadis sok manis ini yang tengah asyik dengan BB-nya.
“Ikut donk. Gue nggak mau absen kalo urusan ginian.” Jawabnya tanda menoleh sedikitpun ke gue.
“Hey kalo ada orang ngomong tuh liat orangnya bukan liat BB mulu. BBM-an sama siapa sih?” tanyaku kepo sambil melirik ke BB yang dipegangnya.
“Eits, kepo. Ada deh.” Jawabnya sambil nyegir.
Usai kuliah, gue segera keluar kelas. Tentu dengan anak-anak tengil itu. Kita nongkrong di situ dulu yuk?” ajak Emil yang sedang menunjuk tempat biasa kita nongkrong. Tempat duduk yang nyaman di bawah pohon dengan semilir angin sore yang seger banget. Wusssss…
“Syem, liat deh itu siapa?” ujar Nafa yang meyengol-nyenggol bahuku sambil menunjuk ke arah sosok yang tak asing di mataku.
Dan gue segera melirik kearah yang dimaksud Nafa. Ini nggak salah liat kan? Yupz, gue nggak salah liat. Siapa lagi kalo bukan Mas ganteng itu. Duh, jantung ini terasa mau copot kalo liat senyuman khasnya itu. Sedikit lagi dia akan lewat di depan gue. Nah lo, gue mesti gimana nih. Apa gue mesti pasang muka se-cute mungkin atau biasa-bisa aja. Tuh kan jadi salting sendiri. Duh duh duh makin dekat aja tuh cowok. Gue berusaha senyum aja kali ya kalo dia liat gue. Hmm, good choice! Sekarang saatnya. Keep smile.
Jleb… Ini kenyataan kan? Gue nggak mimpi kan? Dia pasang senyum ke gue. Dan beruntungnya, gue nggak usah repot-repot smiling doi duluan. Yes!
“Syem? Hello? Lo baik-baik aja kan?” Tanya Emil mengayun-ayunkan tangannya di depan muka gua dan dengan tidak sadar segera gue tepis tangannya dan gue masih terpaku melihat sosok yang sekarang berjalan menjauh dari tempat gue duduk. Emil yang heran dengan kelakuan gue segera menyadarkan gue dari pandangan yang sedari tadi menjauh.
“Hey, noh dia udah nggak ada. Masih aja diliatin.” Ujarnya. Nafa hanya geleng-geleng dan berkata, “Syem-Syem, lo tuh ya beraninya cuma ngliatin doang. Usaha dong buat ngedeketin dia.” Ucap Nafa dengan santainya.
“Enak aja lo. Masa gue duluan yang mulai. Gengsi kale.”jawabku sambil membayangkan wajah Mas ganteng itu. Duh nggak kuat nih kalo udah liat senyumnya itu lho bikin pengen liat lagi.
***