Senin, 16 Februari 2015

Draft (part II)



***
“Sya, yang ini gimana?” tanya Emil seraya menyodorkan tangannya tepat di hidung gue.
“Hmm, wangi juga. Ini juga lumayan nih”, ujarku member pilihan
“Emm….” , mengendus-enduskan hidung kea rah tangan gue. “Ahh nggak ah enekan yang ini”, celetuk Emil menunjukkan botol parfum yang telah dipilihnya.
“Oh ya udah, yang itu aja”, jawabku singkat. Sambil meleihat-lihat sekitar, gue nampak heran dengan apa yang sedari tadi dilihat Nafa.
“Lo lihat apa sih? Asyik banget dari tadi clingak-clinguk nggak jelas?” tanyaku penasaran.
“Eh, itu sepertinya gue kenal orang itu”, jawab Nafa meneunujuk kea rah orang yang dimaksud.
Orang dengan perawakan tinngi, putih, langsing, dengan mini dress pink yang dikenakan nampak begitu cantik dilihat tengah asyik ngobrol dengan sosok pria tinggi memakai kaos hitam dengan celana jeans nampak lebih casual. Namun karena Susana mall yang ramai, jadi kita tidak begitu jelas melihat wajah mereka. Tapi… tunggu-tunggu. Sepertinya ada sesuatu yang aneh. Seperti tak asing perawakannya.
Tak berapa lama kemudian, sesaat mereka menoleh dan berjalan menyusuri area mall meninggalkan tempat semulanya. Dan ternyata… jenh jeng jeng… Oh MY GOD
“Whaaaatttttttt????” teriak gue seketika tanapa menyadari orang-orang di sekitar yang menoleh heran karena kekuatan suara berdesibel gue yang begitu cetar. Dan ternyata teman disebelah gue sampai terperangah kaget.
“Woiiiii, kaget tau gue. Ada apa? Kenapa lo teriak-teriak kayak toak masjid aja?” tanya Nafa yang bingung dengan wajah polosnya.
“Ada apa sih? Budek kupik gue dengernya”, ujar Emil yang langsung menghampiri gue sampbil celingak-celinguk ke luar toko.
“Oh … gue nggak salah liat kan? Atau mata gue lagi rabun kali ya. Tadi itu pemandangan apa coba. Apa-apaan itu. Ohh kepala gue pusing”, ujar gue panjang lebar.
“Kalian berdua, ayo ikut gue sekarang”, pintaku sambil menarik kedua lengan temanku.
“Tatatataapi, parfum gue. Itu arfum gue gimana?” tanya Emil yang menunjuk-nunjuk ke arah parfum yang mau dibeli tadi.
“Kita mau ke mana Sya?” tanya Nafa penasaran.
“Udah nggak usah bawel, ikut aja.” Jawabku tergesa-gesa.
Tak berapa jauh dari lokasi kami berjalan, Nampak dua orang cewek dan cowok yang tadi asyik ngobrol di depan kios parfum.
“Nah, itu dia,” sambil nunjuk kea rah dua sejoli. “Naf, kamu inget cewek yang kamu perhatiin di toko parfum tadi? Lihatbaik-baik tuh cewek,” pintaku seraya meyakinkan Nafa untuk mengingat-ingat.
“Siapa sih?” tanya Emil penasaran.
“Lho eh itu bukannya Kak Andara ya?” ujar Nafa yang mulai curiga.
“Yups, that right.” Jawabku sambil menjelentikkan jari tangan sampai terdengar bunyi cetakkkk.
“Oh yaaa???” teriak Emilka terperangah kaget.
“Sssstttt, pelan-pelan dong”, bisikku mencubit lengan Emil.
“Eh tapi tunggu deh. Itu cowok kayak nggak asing”, celetuk Emil lagi.
Dengan nada lemas gue jawab, “Itu Mas gantengku.”
“WHUUUUATTTTTTTT??????” jawab mereka kompak dan sontak membuat pengunjung mall yang lewat pada kaget. Dan hampir saja membuat dua sejoli itu menoleh ke arah kami. Kamipun segera bersembunyi di balik etalase mall. Gawat kalau ketahuan membuntuti mereka kencan. Eh, kencan? Big No No. Jangan menyebutnya kencan, mungkin lebih tepatnya cuma jalan berdua, atau mungkin mereka nggak sengaja ketemu atau mungkin mereka tadi jalan sama temen-temennya tapi kepisah gara-gara mampir ke toilet dulu atau bla bla bla. Dan itu semua kemungkinan yang amat sangat konyol bukan? Ah dasar otak gue gesrek nih gegara ngehang melihat mereka.
***
Keesokan harinya, di pagi yang cerah. Matahari serasamenyengat kulit padahal ini baru jam setengah tujuh. Dan seperti biasa, di dalam rumah terdapat aktifitas di pagi hari sebelum mulai beraktifitas.
“Sya, yang bener donk makannya, lihat tuh mukamu belepotan selai.” Kata mama yang tengah asyik memoles-moles roti panggang.
“Woy!!!!!” teriak Mas Adry memekik telinga gue. “Kenapa loe bengong nggak jelas gitu. Nglamunin cowok ya?” godanya sambil menyenggol-nyenggol lenganku. Dan itu sangat membuat gue risih dengan kelakuannya.
“Hehh, iiiyaa. Ehh emm nggak.” Jawabku gelagapan. Dengan malas ku kunyah roti selaiku dengan cepat dan segelas susu coklat di depan mataku abis dalam sekejap. Dan ngacir eh.
“Daahhh Mah, Pah.” Melambaikan tangan kepada mama papah dan mereka hanya bisa melongo melihat kelakuan gue pagi ini.
“Ayo Mas, ntar gue telat.” perintahku pada Mas Adry yang masih duduk santai dengan roti di tangannnya.
“Ada apa dengan anak itu?” tukas papah. Dan mama hanya geleng-geleng kepala.
“Kesambet Pah”. Celetuk Mas Adry langsung ikut ngacir.

“Daaahhh Mas, ntar nggak usah jemput. Sasya naik taxi aja.” Menutup pintu mobil dan bergegas masuk kampus.
“Eh eh, tuttunggu!” Teriak Mas Adry yang langsung keluar mobil dan menghampiriku seketika.
“Loe sehat kan? Baik-baik aja kan loe?” tanyanya sambil memegang dahi gue.
Langsung gue tepis seketika, “eeemang kekenapa? Ada yang aneh dengan penampilan gue? Kurang apa gue? Atau make up gue aneh ya? Yang mana Mas? Duh kaca-kaca, mana nih kaca gue.” Cereocos gue panjang lebar sambil bingung menggeledah tas nyari kaca dan Mas Adry hanya melongo geleng-geleng kepala.
“Aneh loe ya, oh ya tuh make up luntur.” Langsung ngacir dan masuk mobil.
“Mana?” ngaca berkali-kali.
“Iiiiiii, awas loe ya. Gue kena tipu lagi. Arrrgggghhh.” Geramku sampai anak-anak yang lewat terheran-heran lihat kelakuan konyol gue.

Pagi ini memang benar-benar membuat gue stress, semalaman nggak bisa tidur terbayang-bayang muka Mas Ganteng sama cewek monster itu. What? Monster? Nah lhoh, iya kan? Dia emang cewek serem yang cerewet, ketus, galak lagi. Nggak salah kan gue nyebutnya monster. Mereka berduaan ngapai coba kalau bukan kencan. Kenapa mesti sama itu cewek. Aduh Mas Mas mbok ya ngajak yang lain gitu. Yang gnomon ini kan cewek juga. Nah lhoh promosi.
Gubraaakkkkkkkkkkkkk!!!!!!!!!!!!!!
Oh God, siapa lagi ini, jalan kok nggak pake mata. Nggak tahu orang lagi kesel apa? Capek hati ini tauk.
“Kalo jalan itu pake matt …” Mendonggakkan kepala dan … Speechless. Gue tercengang sampai nggak bisa berkata apa-apa.
“Kamu nggak apa-apa?” menjulurkan tangan seraya tersenyum muanis buangeeeettt dah
“Oh … “ Well well well gue hanya bisa terpatung dengan kejadian ini.
“Hei, hello”. Melambaikan tangan di depan muka shock gue.
“Oh, “ seketika gue tersadar. “Oh nggak apa-apa. Sorry sorry Kak nggak sengaja.” Ujarku gugup setengah mati.
“Harusnya gue yang minta maaf, gue nglamun tadi.” Jawabnya.
Gue nggak mimpi kan bisa ngobrol seperti ini sama doi, Mas Gantengku. Tapi harusnya bukan dalam kondisi seperti ini.
“Gue Roy.” Ujarnya memeperkenalkan diri.
“Ohh, Syasa.” Jawabku menyambut tangnaya.
“Gue jalan dulu ya.” Sambil berlalu meninggalkan gue sendirian.
Tanpa berkata-kata dan gue hanya menggangguk pasrah melihat kepergiannya.
“Roy? Oh God, nama yang keren, sekeren orangnya.” Ujarku sambil berjalan menuju kelas.

“Hey Sya, kemana aja loe? Jam segini baru nongol. Gue ada kabar bagus nih.” Celetuk Emil yang langsung nyerocos ngliat gue datang.
“Gue juga punya kabar bagus. Gue tadi ketemu sama Roy.” Ujarku sambil meletakkan tas di meja gue.
“Roy? Siape entu holang?” tukas Nafa dengan logat anehnya.
“Ngomong ape sih lu, Nap?” canda Emil.
“Roy itu Mas Gantengku. Namanya Roy. Cakep kan namanya. Pas sama orangnya.
“Kok bisa?” tanya Emil penasaran.
“Bisa dong, gue barusan nggak sengaja nabrak dia di koridor depan.” Jawabku dengan bagga.
“Ah yang bener loe, Sya?” tukas Nafa setengah nggak percaya.
“Wih, hebat loe, bisa langsung tahu namanya juga.”
“Selamat pagi anak-anak.” Suara Dosen Manajemen memotong pembicaraan kami bertiga dan memaksa kami untuk kembali ke meja kami masing-masing.
“Hari ini, Bapak membawa kabar baik utnuk kalian. Bapak membawa teman baru untuk kalian.” Kata Pak Mardi
“Anak baru? Halah, ini kabar baiknya? Ini mah udah biasa Pak.” Gumamku dalam hati. Tanpa memperdulikan perkataan Pak Mardi, gue asyik sendiri utak-atik pena.
“Sini kamu, silahkan masuk dan perkenalkan diri.” Kata Pak Mardi menambahakan.
“Hai, gue Aditya Pratama. Panggil gue Adit aja. Terima Kasih.” Ucapnya singkat.
Wahhh ganteng banget. Kayak boyband ya. Dia mungkin pernah jadi coverboy kali.
Orang-orang mulai berbisik-bisik membicarakan ini anak baru taai gue tetpa cuek dengan ha itu.
“Sttt, sttt.” Bisik Emil menggodaku.
“Ada apa?” tanyaku bingung.
“Liat tu, cowok ganteng.” Jawabnya.
“Alahh, biarin.” Jawabku cuek, tanpa sengaja aku menengok ke depan dan … tanpa sadar gue melongo dibuatnya. Dan seketika gue sadar.
“Nggak-nggak, masih cakepan Roy. Sadar-sadar Sasya.” Gumamku dalam hati sambil menepuk-nepuk pipi.
“Nah, Dit silahkan duduk. Cari tempat duduk yan kosong.” Ujar Pak Mardi lagi.
“Baik Pak, terima kasih.” Jawab cowok itu.
Berjalan melewati kursiku. Tiba-tiba …
“Kasian tuh pipi ditepuk-tepuk.” Ujarnya berbisik di dekat gue.
Seketika gue sadar. Apa dia tadi bicara sama gue? Gue nggak budek kok. Gue masih bisa dengar dia ngomong gitu sama gue. Iya sama gue.
Langsung membalikkan badan, “Sial, huhh.” Gerutuku padanya. Dan dia hanya nyengir ngliat kelakuan gue.
Apa-apaan itu, anak baru udah sok kayak gitu. Belagu lagi. Mesti di kasih pelajaran dia nanti.

“Baik anak-anak. Tugas ini dikumpulkan pada ertemuan berikutnya. Selamat siang.” Ujar Pak Mardi sambil berlalu meningglkan ruangan.
“Oke pak.” Jawab anak-anak seraya meninggalkankelas satu persatu dan tinggallha kami berempat. Berempat? Iya siapa lagi kalo bukan Gue sama 2 temen gue dan anak baru rese itu.
“Yuk Sya.” Ujar Nafa menarik tanganku agar segera keluar ruanagan.
“Tunggu, gue ada urusan sama orang itu.” Tunjuk si anak baru yang sedang asyik mamainkan handphonenya dari tadi.
Sambil menghampiri anak itu, tanpa tinggal diam gue teriak kayak orang gila kesurupan.
“Eh lo tu anak baru nggak usah belagu ya jadi orrr…” suara gue tercengang ketika dia tiba-tiba beranjak dari kursi yang didudukinya dan berlalu tanpa sepatah katapun meninggalkan gue yang cengo dibuatnya.
“Oke gue ke sana sekarang.” Ujarnya dari jauh sambil menutup telepon yang dipegangnya sedari tadi.
Emil dan Nafa terbengong-bengong menyaksikan penghinaan ini.
“Oh My God, gue nggak salah lihat kan Naf?” ujar Emil dengan mata melongo.
Nafa hanya geleng-geleng kepala.
“Sasyaaaaaa, loe di cuekin. Hahahaha.”  Teriak Emil sambil tertawa puas melihatku yang masih bengong dipojokan bangku tuh cowok.
“Gugugue di cuekin?” dengan nada gugup gue nggak percaya gue dibuat kayak gini sama itu cowok.
“Oh God, sumpah demi apa gue dicuekin sam cowok baru itu?” teriak gue sambil kipas-kipas tangan. Hati gue serasa terbakar dengan kelakuan tuh anak.
“Awas aja besok, gue akan buat perhitungan sama itu cowok.” Ujarku geram sambil mengepalkan tangan .
“Ttttaaapi Sya, loe yakin? Kalo dia kayak gini lagi gimana? Tengsin kan.” Ujar Nafa memperingatkan.
Gue nggak peduli apa yag akan terjadi besok, yang jelas gue akan buat perhitungan sama itu bocah. Titik!

***

“Taxi!” menyetop taxi dan bergegas masuk.
“Eh ehhh, pekikku kaget.
“Jalan Pemuda Pak.” Ujar seorang cowok yang langsung menerobos taxi gue.
“Apa-apaan loe, ini taxi gue. Minggir!” teriakku pada itu cowok.
“Gue yang duluan ngomong,” menengokkan kepala dan nyengir dihadapanku.
“Oooooo elo?” teriakku kaget. Dia lagi dia lagi. Dunia ini begitu sempit apa sampai-sampai gue mesti ketemu cowok songong ini berkali-kali. Iya, siapa lagi kalo bukan si cowok resek yang bikin gue cengo dibuatnya.
“Ehh apa-apaan loe, gue duluan yang nyetop ini taxi. Turun loe!’ perintahku sambil menarik tangannya.
Tanpa sadar, dia menarik tangan gue dan tubuh gue terpanting duduk di dalam taxi bersama cowok songong. Dan dia segera menutup pintutaxi sambil menepuk punggung sopir taxi.
“Jalan pak,” ujarnya.
Gue yang bingung teriak-teriak di dalam taxi, “woiiiii, loe mau nyulik gue? Turunin gue.” Sambil menepuk-nepuk pundak tuh cowok.
Dia pun tak bergeming sekalipun gue teriak-teriak, nendang-nendang, dan memukul-mukul tubuhnya.
“Ini cowok sadar nggak sih? Atau mungkin ini orang zombie kali ya, nggak bersuara sedikit pun sedari tadi.” Gumamku dalam hati.
Sepuluh menit berlalu, taxi berhenti di depan sebuah rumah besar dengan halaman luas dan berpagar tinggi. Gue hanya bingung dibuatnya yang sedari tadi diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
“Sudah sampai Mas.” Ujara sopir taxi itu.
Dengan segera dia mengeluarkan ongkos taxinya, membuka pintu taxi dan berlalu begitu saja. Namun beberapa detik kemudian, dia berhenti berjalan dan menoleh kearah gue.
“Take care.” Ujarnya dan kembali berlalu.
Gue hanya melongo dibuatnya. Tanpa sepatah katapun keluar dari mulut gue. Sampai suara sopir taxi memecah lamunanku.
“Kita jalan sekarang Mbak?” tanya pak sopir.
“Ooooh iya pak,” jawabku dengan nada bingung dan kembali menatap rumah besar si cowok rese itu.
“Seperti nggak asing sama rumah itu.” Gumamku. “Ahh entahlah,” ujarku dengan cuek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar